SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

BALAI PENYULUHAN PERTANIAN KEMBANG KUNING

Rabu, 23 Februari 2011

PENYAKIT TETELO

I.        PENDAHULUAN

Penyakit tetelo ditemukan pertamakali oleh Kraneveld di Indonesia pada tahun 1926, karena menyerupai pes ayam maka disebutnya Pseudovogelpest. Doyle pada tahun 1927 memberi nama Newcastle Disease hal ini berasal dari nama suatu daerah di Inggris “ Newcastle on Tyne “ yang terjangkit penyakit serupa.
Tujuh puluh lima persen dari 100 juta populasi ayam di Indonesia masih dipelihara secara ekstensif. Hal ini sangat menyulitkan pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan penyakit sehingga mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit diderita oleh peternak di Indonesia. Sedangkan 25% ternak ayam lainnya yang sengaja diternakkan baik oleh perusahaan atau sebagai usaha sambilan di pekarangan rumah (back-yard farming) umumnya terhindar dari penyakit karena peternaknya mempunyai cukup pengetahuan mengenai cara pemeliharaan ternak dan pengendalian penyakit ternak.
Kerugian yang ditimbulkan penyakit tetelo adalah berupa kematian yang tinggi, penurunan produksi telur serta daya tetasnya dan menghambat pertumbuhan.

II.      ETILOGI

A.     Penyebab
Penyebab penyakit tetelo adalah virus yang berukuran 150-250 milimicron, yang tersusun dari asam inti ribo (RNA) , protein dan lemak (Ditjen Bina Kesehatan Hewan, 2000). Sedangkan Murtijo, 1992 menyatakan penyakit tetelo adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus yaitu Paramyxovirus.
B.     Sifat Alami dan Kimiawi
Virus akan cepat mati pada suhu diatas 500 C, tahan satu minggu pada suhu 370C, 2 bulan pada suhu 220 – 28 0 C dan berbulan-bulan pada karkas beku; tahan pada perubahan pH 2 s.d pH 10, tetapi peka terhadap sinar ultra violet dan sinar matahari, peka terhadap Formalin (1-2%), phenol (1:20) dan kalium permanganat dalam larutan 1 : 5000 atau dengan fumigasi.
C.     Sifat Hayati
Virus tetelo dapat menggumpalkan sel-sel darah ayam (haemagglutinasi) selain itu virus tetelo juga mengeluarkan toxin, homolisin.
Berdasarkan virulensinya virus tetelo terbagi 4 macam yaitu : Strain velogenik type Asia, Starin velogenik type Amerika, Strain mesogenik  dan Strain lentogenik (Ditjen Peternakan, 1993)
Strain velogenik adalah strain-strain virulen, yang menyebabkan banyaknya kematian; strain mesogenik kurang virulen, (kerugian terutama berupa penurunan produksi telur dan dapat menghambat pertumbuhan) dan strain lentogenik, virulen.
Keempat strain tadi banyak terdapat di alam. Wabah terjadi biasanya oleh introduksi strain Velogenik ke populasi yang tidak kebal.
Di Indonesia pada umumnya strain velogenik type Asia yang sering menimbulkan wabah. Untuk pembuatan vaksin digunakan strain-strain tertentu seperti : Strain Lentogenik untuk pembuatan vaksin : La Sota, B1, F. Dan Mesogenik untuk vaksin : Komarov, Mutkeswar, Roikin.
Virus yang apatogen pada burung mungkin sangat patogen pada ayam atau kalkun, sebaliknya virus-virus yang apatogen buat ayam kemungkinan masih sangat patogen pada burung.
D.     Kekebalan
Infeksi oleh virus tetelo dialam yang tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6-12 bulan, demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi.

III.    EPIZOOTIOLOGI

A.     Kejadian di Indonesia
Wabah penyakit tetelo pertama dilaporkan oleh Kraneveld di Jakarta (1926), sejak itu penyakit dilaporkan dimana-mana dan sampai sekarang belum ada satu daerahpun di Indonesia yang bebas dari penyakit ini.
B.     Hewan rentan
Penyakit tetelo menyerang unggas dan burung. Ayam ras, ayam kampung baik piaraan maupun yang liar sangat rentan, yang muda lebih rentan daripada yang dewasa dan mengakibatkan mortalitas (kematian) tinggi, sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi kerentanan ini.
Kalkun menderita tetelo tidak sehebat pada ayam, biasanya hanya menimbulkan gejala gangguan pernafasan ringan. Itik, angsa dan entok jarang menunjukkan gejala klinis sakit, tetapi itik dewasa umumnya telah mengandung zat kebal dalam darahnya. Burung sebangsa betet kerentanannya sama seperti ayam.
C.     Cara Penularan
Masa inkubasi penyakit tetelo 2-15 hari dengan rataan 6 hari. Ayam tertular virus tetelo akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernafasan 1-2 hari setelah infeksi.
Penularan penyakit tetelo dari satu hewan ke hewan lainnya melalui kontak, dengan hewan sakit, skeresi, ekskresi dari hewan sakit serta juga bangkai penderita tetelo. Jalan penularan melalui alat pencernaan dan pernafasan, virus yang tercampur lendir atau virus yang ada dalam feses dan urine tahan dua bulan bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi. Demikian pula virus yang mencemari litter (jejabah) dan lain-lain perlengkapan kandang. Hal ini merupakan sumber penularan yang penting.
Wabah tetelo umumnya terjadi karena perubahan dari induk semangnya sendiri, seperti kenaikan jumlah populasi yang tidak kebal, peruban iklim yang menyebabkan stress seperti perubahan musim kemarau kemusim hujan atau sebaliknya dan makanan kurang baik atau keadaan lingkungan yang memungkinkan penularan itu terjadi spserti sanitasi dan tatalaksana yang kurang baik.
Penularan dari satu tempat ketempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja kandang, burung dan hewan lain, debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung makanan yang tercemar. Dapat pula melalui transportasi dari karkas ayam yang tertular tetelo dan ayam dalam masa inkubasi.
Wabah tetelo ditandai dengan mortalitas dan morbiditas tinggi. Kematian oleh strain velogenik type Asia paling tinggi 80-100%, strain velogenik type Amerika 60-80%, strain mesogenik biasanya tidak melebihi 10% dan tiu terbatas pada ayam-ayam yang muda. Strain lentogenik akhir-akhir ini dilaporkan banyak ditemui dialam bebas, menyebabkan infeksi yang asymptomatis.
IV.   PENGENALAN

A.    Gejala klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung pada virulensi virus yang menulari hewan yaitu : asymptomatis, gejala pernafasan ringan, pernafasan disertai dengan gangguan syaraf atau kombinasi gangguan respirasi, syaraf dan digesti.
  1. Bentuk Velogenik Viscerotropik
Pada permulaan sakit nafsu makan hilang, mencret yang kadang-kadang disertai darah, lesu sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin batuk, paralysis partialis atau komplit dan sekali-sekali torticolis. Produksi telur turun atau terhenti sama sekali. Warna balung dan pial Cyanosis. Angka kematian 80-100%. Bentuk ini disebabkan oleh strain velogenik type Asia
  1. Bentuk Velogenik Pneumoencephalitis.
Karena gejala respirasi dan syaraf lebih menonjol daripada bentuk velogenik viscerotropik, gejala pernafasan seperti pada bentuk yang pertama (lesu sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin batuk, paralysis partialis atau komplit) sedang gejala syaraf  seperti kelumpuhan dan torticolis lebih banyak terjadi. Produksi telur turun. Mortalitas 60-80%. Cyanosis pada pial dan balung. Bentuk ini disebabkan oleh strain velogenik type Amerika.
  1. Bentuk Mesogenik
Gejala respirasi seperti batuk, bersin, sesak nafas, megap-megap dan penurunan produksi telur adalah gejala yang menonjol pada ayam dewasa. Angka kematian mencapai 10% pada anak ayam sedangkan yang sembuh pertumbuhannya terganggu. Kematian pada ayam dewasa jarang terjadi.
Pada ketiga bentuk diatas telur ayam yang dihasilkan akan mengalami kelainan bentuk dan daya tetasnya sangat rendah.
  1. Bentuk Lentogenik
Kelihatan gejala respirasi ringan dan penurunan produksi telur. Sedangkan gejala syaraf biasanya tidak ada. Tidak menimbulkan kematian baik pada ayam dewasa maupun anak ayam. Bentuk ini disebabkan oleh strain lentogenik.
  1. Bentuk Asymptomatik
Bentuk ini juga disebabkan oleh infeksi virus strain lentogenik.
B.    Kelainan Pasca Mati
Gambaran pasca mati bervariasi, tergantung pada strain virus yang menulari. Perubahan pasca mati oleh infeksi virus velogenik strian Asia yang Pathognomonis berupa ptechiae (bintik-bintik pendarahan) pada proentrikulus (perut kelenjar) dan nekrosa pada usus.
Kelainan-kelainan saluran pernafasan seperti rhinitis, tracheitis, laryngitis, pneumonia dengan eksudat katarrhalis sampai  mocupurulent dan dapat pula ditemui kelainan susunan syaraf berupa degenerasi dan nekrosa otak namun hal ini tidak khas untuk penyakit tetelo saja.
Perubahan pasca mati pada infeksi virus velogenik strain Amerika serupa dengan infeksi virus velogenik type Asia kecuali ptechiae pada proventriculus jarang terjadi dan encephalitis hampir selalu terjadi.
Gambaran pasca mati pada infeksi virus mesogenik tidak khas ; perubahan kebanyakan terbatas pada saluran pernafasan. Selain itu dapat juga ditemukan perubahan berupa ptechiae pada pericard, epicard, subpleura, tembolok dan usus.
C.    Pengambilan dan Pengiriman Bahan Pemeriksa.
Untuk menunjukkan adanya virus atau antigen, material dapat berupa usapan kapas dari trachea atau dari cloaca (ayam sakit) atau otak dan paru-paru ayam yang baru mati. Usapan kapas tersebut dimasukkan dalam tabung yang berisi larutan Hank’s berisi 2-5% serum dan penicilin-streptomycin dengan konsentrasi 1000 I.U dan 1000 mikrogram per cc. Seluruh otak atau ± 3 gram paru-paru diambil secara aseptis kemudian dimasukkan kedalam botol/vial yang berisi phospat buffer glycerin atau glycerin NaCl fisiologis.
Untuk pemeriksaan zat kebal diperlukan 05 – 1 cc serum dari setiap ekor ayam yang dimasukkan dalam vial 3-5 cc tanpa bahan pengawet. Pengiriman sera yang diambil pada waktu ayam sakit dan tiga minggu kemudian atau sebelum dan sesudah vaksinasi (PAIRED SERA) dari hewan yang sama, diamksudkan untuk mengetahui perubahan titer/zat kebal bagi keperluan diagnosa/pengujian vaksin.
Sedangkan untuk mengetahui status kekebalan suatu kelompok ayam cukup dikirim serum satu kali pengambilan (single serum) berasal dari beberapa ekor ayam dalam kelompok tersebut. Serum dari tiap-tiap ekor ayam dimasukkan kedalam botol/vial steril, diberi tanda etiket dan dikirim dalam keadaan dingin kelaboratorium terdekat yang berkompeten. Kemasan (packing) agar diusahakan sedmikian rupa, sehingga bahan pemeriksaan tidak rusak selama dalam perjalanan.
Keterangan-keterangan yang diperlukan pada pengiriman bahan adalah : surat pengantar tentang macam bahan, tanggal dan tempat pengambilan bahan, nama dan alamat pemilik/peternak, jenis dan bangsa ternak unggas, banyaknya ternak yang sudah mati, sistem perkandangan, mordibitas dan mortalitas, riwayat vaksinasi ND dan lain-lain vaksinasi yang telah dilaksanakan.
D.    Diagnosa
Penentuan penyakit tetelo didasarkan atas epizootologi, tanda-tanda klinis, kelainan pasca mati yang dikukuhkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang berkompeten, pengukuhan diagnosa tersebut dapat dilakukan dengan :
  1. Isolasi dan identifikasi virus
Material dari ulasan kapas trachea atau cloaca atau suspensi 10% dari otak atau paru-paru, dicampur dalam garam seimbang yang ditambah antibiotika diinokulasikan ketelur bertunas erumur 8-9 hari. Daya hemagglutinasi (HA) dari cairan allantois dan amnion kemudian diperiksa. Kalau posistif, selanjutnya identitas virus ditentukan dengan uji penghambatan hemagglutinasi (hemagglutination inhibition = HI) atau uji netralisir virus (V N test) dengan serum kebal terhadap penyakit tetelo. Identitas strain diketahui dari reaksi pada anak ayam berumur sehari, ayam berumur 8 minggu, atau tikus yang menyusu. Bentuk dan macam plaque pada biakan jaringan lainnya, waktu elusi dan thermostability hemagglutininnya.
  1. Pemeriksaan serologik
Zat kebal diuji dengan HI test atau serum netralisasi test berdasarkan prosedur virus konstan dengan serum yang diencerkan berbeda-beda.
Untuk single serum, hasil HI test lebih dari 40 menunjukkan hewan kebal, 20-40 perlu diadakan pengulangan vaksinasi sedangkan titter kurang dari 20 (negative). Netralisasi indekx lebih dari 2 menunjukkan hewan kebal, satu sampai kurang dari dua perlu diadakan pengulangan. Sedangkan kurang dari satu menunjukkan serum tidak memberikan perlindungan.
  1. Pengujian adanya antigen dapat dilakukan pula dengan Fluorescence Antibody Test (FAT)
E.     Diagnosa Banding
  1. Bronchitis Infection Avium : Morbiditas tinggi tetapi mortalitas tidak setinggi tetelo
  2. Laringo tracheitis infection : Morbiditas rendah, trcheitis, laryngitis yang haemorraghis atau fibrinosa.
  3. Micoplasmosis : terjadi bersamaan dengan bronchitis infectiosa atau tersendiri, mortalitas biasanya rendah kecuali kalau ada komplikasi, infeksi berjalan kronis.
  4. Avian Plaque : Morbiditas dan mortalitas tinggi, sangat menyerupai tetelo, penyakit ini disebabkan oleh virus influensa A dan di Indonesia tidak ada.

V.     TINDAKAN

A.    Pencegahan
Pencegahan dititikberatkan pada sanitasi dan tatalaksana. Untuk tercapainya usaha-usaha tersebut diatas perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Sebelum kandang dipakai harus dibersihkan dan ditabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2% dengan formalin 1-2% : KmnO4 1:5000 atau fumigasi. Bila memakai litter harus diusahakan agar tetap kering. Kandang-kandang harus tetap dijaga kebersihannya dan ventilasinya diatur sedemikian rupa secara terus-menerus serta diusahakan bebas dari hewan-hewan yang dapat memindahkan virus tetelo. Selain itu kandang hendaknya harus pula kena sinar matahari.
  2. Untuk peternakan ayam pedaging, tempat pembersihan karkas harus terpisah dari kandang. Sisa pemotongan harus dibakar atau ditanam sedalam 2 m atau disalurkan kedalam sumur penampung kotoran.
  3. Anak-anak ayam harus berasal dari peternakan yang bebas penyakit tetelo.
  4. Penggunaan karung makanan bekas harus dihindari.
  5. Dipintu masuk disediakan tempat-tempat untuk penghapushamaan untuk orang maupun alat angkutan.
  6. Selain itu harus pula diperhatikan mutu dan jumlah makanan.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak dapat diterapkan secara menyeluruh di tanah air kita, terlebih pada pemeliharaan ayam secara tradisional. Oleh karena itu pengebalan dengan vaksinasi adalah cara yang terbaik untuk mencegah penyakit tetelo.
  1. Pengebalan hewan yang peka :
Anak ayam berumur 1-7 hari divaksinasi dengan salah satu vaksin strain lentogenik melalui air minum, penetesan selaput lendir (hidung, mata dan mulut) atau dengan penyemprotan. Vaksinasi dengan cara parenteral kurang efektif karena adanya ”immunitas induk” (maternal immunity). Ayam muda dan ayam dewasa dari bangsa petelur atau ayam kampung diberi vaksinasi ulangan pada umur 1 bulan, 2-3 bulan dan 4-5 bulan serta selanjutnya setiap 6 bulan dengan vaksin lentogenik atau mesogenik. Sedangkan untuk ayam pedaging cukup diulangi pada umur 1  bulan dengan vaksin lentogenik. Untuk risalah dan macam-macam vaksin tetelo dapat dilihat pada lampiran 1.

B.    Pengendalian
  1. Semua ayam yang mati karena penyakit tetelo harus dibakar dan atau dikubur.
  2. Ayam-ayam sakit atau tersangka sakit harus disingkirkan dengan jalan membunuh atau memotong ayam tersebut dan dagingnya boleh diperjualbelikan dengan syarat harus direbus atau dimasak terlebih dahulu.
  3. Dalam melaksanakan pemotongan ayam sakit atau aym tersangka sakit sisa-sisa pemotongan harus dibakar atau dikubur.
  4. Apabila pada peternakan ayam ditemukan penyakit tetelo, maka dilarang mengeluarkan ayam tersebut dari peternakan baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, kecuali untuk pengukuhan diagnosa.
  5. Apabila pada suatu peternakan ayam ditemukan penyakit tetelo, maka setiap orang dilarang masuk ke peternakan tersebut, kecuali pegawai peternakan yang bersangkutan dan petugas yang berwenang.
  6. Dilarang menetaskan telur yang berasal dari ayam yang  sakit tetelo (khusus bagi usaha Breeder), ijin menetaskan telur harus dicabut selama pada perusahaan tersebut terjangkit penyakit tetelo.
  7. Kandang-kandang tempat bekas ayam sakit dan barang-barang yang bersentuhan dengan ayam sakit harus dihapus-hamakan atau dibakar.
  8. Setiap peternakan ayam diwajibkan untuk mengadakan vaksinasi dan melaksanakan uji kekebalan.
  9. Penyakit dianggap lenyap dari peternakan setelah lewat waktu 2 bulan kasus terakhir atau lewat 1 bulan kasus terakhir yang disertai tindakan penghapus hamaan.
  10. Ayam-ayam yang ada didaerah sekitar tempat-tempat wabah radius sejauh 1 km harus divaksinasi.
VI.   PERLAKUAN PEMOTONGAN HEWAN, DAGING DAN TELUR

  1. Ternak ayam berpenyakit tetelo yang kondisi badannya masih baik dapat dipotong.
  2. Pemotongan harus dilaksanakan ditempat kejadian penyakit.
  3. Daging yang berasal dari ayam berjangkit tetelo yang dipotong boleh diperdagangkan untuk dikonsumsi setelah direbus atau dimasak.
  4. Telur yang berasal dari kandang-kandang ayam berpenyakit tetelo boleh diperdagangkan untuk konsumsi setelah direbus atau dimasak.

Lampiran 1
RISALAH MACAM-MACAM VAKSIN TETELO DAN PENGGUNAANNYA
Jenis,Type & Strain
Kemasan
Daya Simpan
Rekonstitusi
Dosis dan Aplikasi
Reaksi dan Immunity
Vaksin Inaktif
Suspensi dalam larutan buffer phosphat ditambah aluminium hydroxidegel sebagai absorben
Vial berisi 20-30 dan 50 dosis
F 1 tahun pada suhu lemari es (4-50C)
F 1 bulan pada suhu kamar yang sejuk

Vial dikocok dahulu sebelum dipakai setelah berupa suspensi yang homogen, berkonsistensi sedikit kental dan berwarna coklat susu
F 1 dosis = 1 ml  vaksin yg sudah dikocok
F Umur 1-2 bln 0.25 dosis
F Umur 2-3 bln 0.5 dosis
F Umur 3 bln keatas 1 dosis suntikkan intramuskuler
F Memberi kekebalan dasar sebelum divaksin strain komarov
F Tidak membangkitkan reaksi klinis apapun
F Fase negatif : 5-7 hari
F Kekbalan : 1-2 bulan setelah melampaui fase negatif
Vaksin aktif
1. Type Lentogenik
a. Strain F
Ampul @ 50
F 1 Tahun : dalam ampul yang masih tertup pada suhu 4-50C
F 4 jam setelah direkonstruksikan

1 ampul vaksin direkonstruksikan dengan 3 ml pelarut (NaCl fisiolgi)
F 1 dosis  = 1 tetes vaksin yang telah direkonstruksikan
F Untuk anak ayam umur 1 hari – 4 minggu = 1 tetes mata atau 2 tetes dalam mulut
F Memberi kekebalan dasar sebelum divaksinasi dengan strain komarov
F Tidak membngkitkan reaksi klinis apapun
F Fase negatif : 7 hari
F Kekebalan ± 3 bulan setelah melampaui fase negatif
b. Starin B1 Hitchner
Ampul @ 100 dosis untuk 100 ekor ayam
F 1 tahun dalam ampul tertutup pada suhu 4-50C
F 4 jam setelah dilarutkan
F Setelah ampul dibuka, masukkan sedikit air kedalamnya untuk melarutkan vaksin
F Kemudian isi ampul dituangkan kedalam tempat air minum
F Melalui air minum
F Untuk 100 ekor ayam = umur 3-4 hari air minum 0.25 ltr
F Strain B1 buatan LVK terutama untuk anak ayam umur kurang dari 3-4 minggu (vaksinasi pertama)
F Melalui air minum
F Tidak membngkitkan reaksi klinis apapun
F Kekebalan tergantung dari volume air mengandung vaksin yang diminum
c. Starin Lasota
sda
sda
sda
F Digunakan untuk vaksinasi lanjutan setelah vaksinasi dengan B1  
F Untuk 100 ekor :
F Vaksinasi            umur            air
F Kedua                 3-4 mg         1 liter
F Ketiga                 4-5 mg        2 liter
F Selanjutnya tiap  6  bulan      2 liter
F Tidak membngkitkan reaksi klinis apapun
F Kekebalan setelah vaksinasi berturut-turut dalam seridengan strain B1 dan Lasota paling sedikit 6 bulan
2. Type Mesogenik Strain Komarov
Ampul @ 100 dosis
Sama dengan vaksin tetelo strain F
1 ampul direkonstruksikan dengan 100 ml pelarut (NaCl Fisiologis)
F 1 dosis =  1 ml vaksin yang sudah direkonstruksikan
F Umur 1-3 bulan (semua bangsa kecuali RIR) 0.5 dosis
F Umur diatas 3 bulan (semua bangsa) 1 dosis suntikan IM
F Pada ayam sehat dan berkondisi baik tidak membangkitkan gejala yang perlu dikhawatirkan
F Fase negatif 5 hari
F Kekebalan paling sedikit 6 bulan
Sumber : LVK Surabaya


Lampiran 2
ISTILAH-ISTILAH VETERINER
No
Istilah Veteriner
Arti
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30
31.
Antibody
asymptomatis
Cyanosis
Cloaca
Cross immunity
Desinfectant
Differential diagnosa
Exudat
Enteritis
Erythrocyt
Haemogglutinasi
Haemorrhagie
Immune
Immunitas
I.U
Konsentrasi
Litter
Mucosa
Mortality
Morbidity
Mucopurulent
Paralysis partialis
Post mortem
Ptechiae
Purulent
Strain
Stress
Trachea
Torticolis
Toxin
Virulensi
Zat kebal
Tanpa gejala
Kebiruan
Kloaka
Kebal silang
Pencuci hama
Diagnosa banding
Cairan radang
Radang usus
Eritrosit
Penggumpalan darah
Mendarah
Kebal
Kekebalan
International Unit
Kepekatan
Jejabah
Selaput lendir
Angka kematian
Angka sakit
Bernanah lendir
Lumpuh sebagian
Pasca mati
Bintik pendarahan
Nanah
Galur
Tekanan
Kerongkongan
Leher berputar
Toksin
Keganasan

DAFTAR PUSTAKA
Murtidjo,BA, 1992., Mengelola Ayam Buras, Kanisius Yogyakarta
Ditjen Peternakan, 1993., Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular, Jakarta Ditjen Bina Kesehatan Hewan, 200., Manajemen Penyakit Hewan, Jakarta